Konsistensi Itu… Berat Sekali

Ken Terate

Suami saya, seperti ribuan orang Indonesia saat ini, juga kepingin jadi penulis. Minimal kepengen nulis di media lah. Harus diakui menulis itu seksi sekali akhir-akhir ini. Jadi penulis itu seperti jadi selebriti. Siapa yang nggak pengin jadi selebriti? Saya sih pengin.

Saya yang biasanya berpikir positif, kali ini nggak bisa menahan diri untuk bersikap skeptis. “Kamu tuh nggak bakat jadi penulis,” kata saya pada Anto, “Soalnya kamu tuh nggak bisa kerja mandiri, mendisiplinkan diri sendiri.”

Yup, Anto memang tipe manusia yang butuh dipecut agar bisa bekerja–masokis kaleee–. Studi S1 dijalani bertahun-tahun –nggak saya sebutin, takut dia langsung menyungsepkan wajah ke dalam tas kresek–. Dia akhirnya menyelesaikan skripsinya yang mangkrak setelah SPPnya dinaikkan berkali-kali lipat mengikuti mahasiswa yang baru masuk. S2-nya juga molor dan ia selesaikan setelah diberi surat peringatan DO. Ia butuh dikontrol faktor luar; orang lain, kebutuhan mendesak, atau hukuman. Saya rasa itulah mengapa akhirnya ia kerja kantoran.

Saya…

View original post 602 more words

WordPress.com News

Welcome to a new feature on WordPress.com News. Every couple weeks, we’ll sit down with an Automattician to help you get to know the people who work behind the scenes to build new features, keep Automattic’s wheels turning, and make WordPress.com the best it can be. Mr. Tim Moore suggested this new feature and so we thought it only fitting that he should be first. Everybody, say hey to Tim!

What’s your role at Automattic?

At Automattic, I’m a member of Team Social. We handle projects like Publicize, Post by Email, Sharing, the new WordPress.com comments UI, and Gravatar, among others.

I also do a lot of work on Automattic’s Jetpack plugin. I have a toe in each part of Jetpack; I started out doing mostly development, though now I help with support, maintenance, and any aspect of the plugin that needs work.

What sort of…

View original post 558 more words

DIAM YANG MENDIDIK

Ada berbagai macam penafsiran dari kata “diam”. Bisa jadi itu bermakna persetujuan, dalam batas sekedar anggukan. Ataupun cuek tidak memberikan perhatian sama sekali dengan penutur. Sepatutnya, diam itu ”emas” seloroh orang-orang bijak dengan mutiara bahasanya.
Apapun penafsiran dan pemaknaannya, dibalik itu ternyata diam memiliki unsur tarbiyah yang luar biasa. Ini paling tidak seperti yang pernah penulis alami sendiri dengan proses edukasi yang kedua orang tua berikan. Sungguhpun hal ini terjadi lebih banyak terutama didominasi oleh faktor budaya dan adat istiadat yang bersifat lokal. Beberapa nilai tarbiyah yang dapat diperoleh dari diam adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan Diri. Dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa, yang sarat dengan rasa ewuh pakewuh dan nrimo, watak dan karakter manusia terbentuk menjadi sosok yang tahu dan faham dengan kondisi riil yang terjadi. Pernah penulis berkeinginan menjadi seorang dokter, sosok yang penuh dengan kewibawaan dan prestise tinggi di masyarakat, sosok penolong yang selalu berkecukupan dengan materi, penghasilan yang jauh diatas rerata masyarakat yang mayoritas petani. Ayah sebagai tokoh yang dominan dalam keluarga hanya berkomentar enteng: “ ragate ora ono!” (biayanya nggak ada).
2. Penyadaran Diri. Terkesan bahwa ternyata aspek afeksi dan pengalaman empiris lebih mengena dibandingkan aspek kognitif teoritis semata. Waktu itu, umur 9 tahun, seperti halnya anak-anak pada umumnya bermain dengan teman sebaya adalah kebiasaan lumrah dan keasyikan bermain melalaikan seluruh tugas dan kewajiban adalah hal yang lumrah pula, suatu sore, karena sudah sering pulang sampai larut petang, ketika asyik sedang bermain datanglah ayah dengan membawa reng (sebilah bambu untuk atap) ditangan kanan dengan raut muka merah padam menahan amarah: “ ngerti mbengi ora, dolan ra ngerti wayah!” sambil memukulkan reng pada kaki penulis hingga berdarah. Sakit yang terasa pada waktu itu, dan pengalaman ini tak pernah terlupakan hingga sekarang, dari sana penulis memahami bagaimana tugas harus dikerjakan dan bagaimana memilih skala prioritas tugas yang harus dikerjakan.
3. Rasa Tanggung Jawab dan Kemandirian. Menumbuhkan kedua sifat ini memerlukan langkah sedini mungkin. Hal ini disebabkan oleh makin cepatnya perkembangan informasi dan rentannya sifat anak yang mudah berubah seiring dengan informasi maupun wacana yang ada di sekitarnya. Pernah suatu kali penulis mengalami sebuah contoh sederhana bentuk tarbiyah sifat ini. Waktu itu penulis masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar dan ketika itu sedang digalakkannya program giat menabung bagi anak-anak sekolah. Seperti teman-teman yang lain, tentunya penulis tidak mau ketinggalan maka meminta kepada ayah adalah hal yang sangat lumrah, orang tua tentunya akan sangat mendukung karena hal itu termasuk hal yang terpuji dan dapat merangsang anak untuk berhemat. Lain halnya dengan ayah penulis, beliau bersikukuh tidak memberikan uang sepeserpun. Waktu itu yang ada dibenak penulis adalah sosok ayah yang aneh, tidak wajar, dan kikir yang amat berlebihan. Yang masih saja teringat adalah dialog sebagai berikut ” nggoleko dhewe yen kepingin nyelengi, kuwi kanggo butuhmu!” ( cari sendiri kalau ingin menabung, itu semua demi masa depanmu!). Masih saja penulis tidak habis fikir waktu itu, kemudian sang ayah berkata lagi: “ galo, ning kebon ono bekicot lumpukno mengko dolen dhewe!” ( itu di pekarangan ada banyak siput darat, kumpulkan saja, nanti kamu bisa menjualnya). Dari situlah diketahui apa sebetulnya dibalik keanehan dan kekikiran ayah kepada anaknya.
Dibalik sifat diam sungguh banyak didapati makna yang mendalam yang mengandung unsur tarbiyah yang beragam. Dan bukan hal yang mustahil bila dikatakan ngandani atau menasehati tidaklah harus berupa kata-kata manis yang halus, melainkan diam dan bahkan marah itupun bisa menjadi sarana tarbiyah dan pembentukan karakter anak. Wallahu’allam Bi Shawab!

“Reorientasi Kebijakan Pendidikan Nasional”

Pertengahan bulan ini telah terjadi perombakan lembaga yang cukup menentukan di tingkat Kementerian Pendidikan Nasional, tepatnya pada hari kamis 15 April 2010 kemarin. Dalam kebijakan tersebut ada satu direktorat yang dihapuskan dan satu direktorat yang dimekarkan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) dihapuskan dan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (DIKDASMEN) dimekarkan menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar (DIKDAS) dan Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah (DIKMEN).
Sebagai sebuah bagian dari hukum alam untuk proses dinamisasi kelembagaan, kebijakan ini amatlah strategis perannya mengingat tuntutan zaman yang kian maju dan memerlukan kecepatan dalam meresponnya. Hal ini tersirat dalam release yang disampaikan oleh menteri pendidikan nasional Muhammad Nuh dimana alasan mendasar adalah terlalu gemuknya organisasi di Kementerian Pendidikan Nasional. Selanjutnya ditambahkan pula bahwasanya ruh besar yang harus senantiasa terpancar dalam pelaksanaan reformasi birokrasi pendidikan ada tiga, yaitu: efisiensi, transparansi dan akuntabilitas. Sasaran dalam penataan ini berfokus pada reformasi tata kelola dan reformasi moral pelaksananya. Dalam hal ini akan dilakukan pula intervensi teknologi yang kemudian akan dapat memberikan kepuasan bagi para pemangku kepentingan.
Guru, sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan di level grass root memiliki harapan, pertanyaan dan kekhawatiran yang mestinya dapat diantisipasi dan diselesaikan dengan arif dan humanis. Dengan dimekarkannya Dirjen Dikdasmen menjadi dikdas dan dikmen otomatis akan terdistribusikan beban penanganan tata kelolanya sehingga akan menjadi lebih terfokus pada bidangnya masing-masing, selain itu juga asset negara di Kemendiknas yang beberapa saat lalu pernah disampaikan ada sebanyak 51 triliun rupiah ini dapat berdaya guna secara lebih maksimal. Didukung dengan sentuhan teknologi terkini yang dapat memangkas jarak, ruang dan waktu; maka laraslah apa yang menjadi harapan pelaksana dengan pengambil kebijakan.
Namun dibalik itu semua, tersirat pula tanda tanya bagi para guru oleh sebab dihapusnya Dirjen PMPTK yang selama ini menaungi puluhan Lembaga dan Pusat Kegiatan pengembangan kemampuan guru dalam mengajar dan telah mendapatkan apresiasi yang bagus dari para guru karena pesatnya perkembangan lembaga tersebut pada saat ditangani oleh Dirjen PMPTK. Termasuk juga peranannya dalam mengkomunikasikan materi-materi baru kepada para guru yang ada di daerah telah mendapatkan acungan jempol. Kemudian muncullah pertanyaan akankah yang sudah berjalan ini akan ikut lenyap bersama dengan yang menaunginya.
Kedua, program sertifikasi guru yang sudah berjalan tiga tahun terakhir ini dan dipiloti oleh dirjen PMPTK dengan beragam jalurnya akan mengalami masa transisi kelembagaan yang mau tidak mau akan terjadi sedikit paused, dalam proses penyerahan kewenangan. Tanda tanya juga muncul ketika Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan sudah terlanjur dibuatkan rundown-nya untuk tahun 2010 yakni dengan dikeluarkannya edaran Dirjen PMPTK tertanggal 2 Maret 2010. Dalam edaran itu jelas sudah tertulis lengkap persyaratan, tahapan pelaksanaan,dan jumlah kuota nasional. Di sisi lain, guru tetap berharap meskipun nantinya ada waktu yang hilang oleh karena proses transisi kelembagaan, namun proses tetap dapat berlanjut.